“Sudah pernah minum air aren?” tanya ibu. “Air
aren, bu? Apa rasanya?” jawab saya. Lalu, karena ibu tahu bahwa saya belum
pernah mencicipi air aren, ibu mengambilkan satu gelas air aren untuk saya
minum. Setelah saya mencoba air aren, saya baru tahu bahwa air aren enak
sekali. Bahkan, sebelumnya saya tidak tahu bahwa pohon aren itu sendiri
memiliki banyak manfaat. “Bagaimana? Enak bukan? Nanti setelah pulang dari
sini, cerita ya ke orang disana tentang enaknya air aren dan tentang pohon aren”
Keluarga
tempat saya live in adalah keluarga yang terbilang santai namun tetap bekerja
keras tanpa mengeluh. Keluarga yang terdiri dari seorang bapak, ibu, anak
perempuan dan cucu. Sebenarnya, bapak dan ibu memiliki 2 anak perempuan, namun
anak perempuan paling muda sedang beekrja di Jogjakarta. Cucu bapak dan ibu,
adalah cucu dari hasil pernikahan anak pertama mereka yaitu mbak Lili dengan
suaminya, namun suaminya sedang merantau ke Kalimantan untuk bekerja. Bapak
Sukirdi, adalah bapak saya untuk selama saya live in. Setiap hari, ia ke kebun
untuk mengambil kayu bakar, kemudian ia ke ladang mengambil rumput untuk
kambingnya. Ibu Sukirdi, seorang ibu yang benar – benar tulus mengurus
keluarganya. Setiap hari, bangun pagi sebelum semuanya bangun Keseharian ibu
Sukirdi yaitu setiap hari membuat gula aren dan membantu anaknya mengurus cucu.
Kebetulan,
keluarga yang saya tempati adalah keluarga Muslim. Pada hari ketiga live in,
hari itu juga bertepatan dengan hari pertama bulan puasa. Awalnya, saya merasa
sedih karena ini adalah pertama kalinya saya mengawali bulan puasa tidak dengan
keluarga saya di rumah. Sehari sebelum puasa, pukul 5 pagi kami ke pasar yang
jaraknya kira – kira 5 kilometer dari rumah. Kami ke pasar untuk membeli
persiapan bulan puasa untuk keesokan hari. Setibanya kami di rumah, ternyata
lampu satu desa padam. Kami tetap beraktivitas seperti biasa, namun saat malam
tiba kami sulit beraktivitas karena keadaan yang gelap. Pada Minggu malam, kami
melaksanakan ibadah Sholat Tarawih. Dengan keadaan yang gelap, Tarawih tetap
terlaksana di Masjid dengan lancar. Saya pikir sebelumnya, karena keadaan gelap
masyarakat desa yang beragama Islam, kesulitan ke Masjid. Karena, yang saya
lihat di Kota, bahwa jika hujan saja, masyarakat kota sangat malas pergi ke
Masjid. Sahur pertama pun dimulai. Pukul 3 pagi hari Senin, kami bangun untuk
sahur, namun ternyata lampu masih padam dan kami harus sahur bergelap –
gelapan. Memang aneh rasanya sahur dengan keadaan gelap, namun satu hal yang
sangat berarti saat sahur pertama terjadi, kebersamaan selalu ada. Walaupun
keadaan gelap, satu keluarga tetap berkumpul untuk melaksanakan ibadah puasa.
Hari
demi hari saya lewati bersama keluarga Bapak Sukirdi dengan senang dan
kebersamaan yang sangat terasa.. Tiba saatnya hari terakhir saya disana, sangat
sedih rasanya meninggalkan keluarga baru yang sangat baik dan mau menerima saya
dengan ramah. Sahur terakhir pun kami laksanakan bersama – sama. “Makannya nambah ayo. Biar nanti di jalan
tidak kelaparan” kata bapak. “Dihabiskan saja lauknya, nanti sampai sanakan
tidak makan masakan khas sini lagi” kata ibu. Sedih rasanya saat mendengar
kalimat – kalimat tersebut keluar. Rasanya baru sebentar saya hidup dengan
keluarga ini, dan saya sudah sangat nyaman. Seperti orang tua sendiri,
mengingatkan hal – hal kecil kepada anaknya yang terkadang anaknya sendiripun
lupa.
5
hari tinggal bersama keluarga Bapak Sukirdi. Memang, sebelum pergi ke tempat
live in saya sudah membayangkan hal – hal buruk yang akan terjadi. Seperti,
saya tidak bisa tidur misalnya. Namun ternyata, keadaan yang terjadi berbalik
180 derajat dari perkiraan saya. Saat pertama kali saya menginjakkan kaki saya
di rumah Bapak Sukirdi, saya langsung merasa nyaman berada diantara keluarga
mereka. Keramahan yang saya terima dari pertama kali saya sampai di rumah,
menguatkan rasa nyaman saya. Dan ternyata benar, saya langsung menganggap
keluarga Bapak Sukirdi adalah keluarga saya sendiri. Saya merasa tidak ada
bedanya keluarga saya di rumah dengan keluarga Bapak Sukirdi.
Banyak hal yang saya pelajari selama 5 hari
tinggal disana. Saya belajar bagaimana cara menghargai waktu bersama orang
terdekat. Sesibuk apapun, keluarga adalah nomor satu saat kita merasa lelah
yang akan membuat kita bersemangat lagi. Saya juga belajar, sesibuk apapun
kewajiban sebagai umat beragama tetap harus dijalankan. Bapak Sukirdi, yang
setiap jamnya sholat, selalu pulang terlebih dahulu untuk bersih – bersih,
kemudian pergi ke Masjid uuntuk sholat bersama warga lainnya, dan setelah
selesai sholat, beliau melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Bahagia
rasanya, bisa mengenal keluarga Bapak Sukirdi yang bisa memberikan pelajaran
berharga untuk hidup dari segala aspek. Hal berharga lainnya yang saya dapatkan
adalah berasal dari mbak Lili dan suaminya. Sejauh apapun jarak mereka, selalu
menyempatkan waktu untuk berkomunikasi satu sama lain setiap harinya. “
menjauhkan yang dekat” ini adalah kalimat yang saya sering dengar tentang
penggunaan telepon genggam,namun tidak di keluarga ini, yang terjadi adalah “
mendekatkan yang jauh”. 5 hari yang sangat berharga telah saya lalui, saya
selalu berharap agar saya bisa dipertemukan dengan orang –orang seperti
Keluarga Pak Sukirdi yang lainnya yang bisa memberikan hal yang berharga untuk
hidup saya dan bisa memberikan rasa kenyamanan selama saya hidup bersama
mereka.
credits:http://bobmarleyquotes.verybestquotes.com/wp-content/uploads/2012/07/Bob-Marley-Quotes.We-should-really-love-each-other-in-peace-and-harmony..jpg
No comments:
Post a Comment